SISI PSIKOLOGIS ANAK YANG MENDERITA
TUNA RUNGU
Setiap
orangtua pasti mendambakan memiliki anak yang sehat, baik sehat secara fisik
maupun mental. Setiap orangtua mengharapkan anak-anak mereka tumbuh dewasa
tanpa menghadapi masalah berarti. Mereka berharap anak-anaknya tumbuh normal,
dan kelak berhasil dalam pendidikan dan kehidupan, serta dapat menjadi
kebanggaan keluarga (Hammer dan Turner, 1996). Namun kenyataannya beberapa
orangtua justru diharuskan untuk menerima kehadiran anak yang berbeda atau
“spesial”. Keadaan ini tentu saja menuntut sikap penerimaan diri mereka sebagai
orangtua anak yang memiliki kebutuhan khusus. Namun, bagaimanapun keadaannya,
seorang anak adalah karunia Tuhan. Dan oleh karena itu, setiap orangtua harus
bersyukur akan anugerah yang telah diberikan Tuhan tersebut.
Anak
Berkebutuhan Khusus atau yang biasa disingkat dengan ABK merupakan anak-anak
yang keadaan atau kondisinya lebih “spesial” dari anak-anak pada umumnya. Anak
yang digolongkan memiliki kebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kondisi
fisik ataupun mental yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dalam artikel
ini, akan dibahas secara lebih mendalam mengenai anak yang menderita tunarungu.
Anak
yang menderita tunarungu umumnya sudah dapat diidentifikasi sejak usia dini. Tunarungu
merupakan ketidakmampuan mendengar stimulus wicara atau bunyi-bunyian, baik
dalam derajad intesitas maupun frekuensi. Tunarungu dapat diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu prelingual deafness,
yakni ketulian yang diderita sejak lahir, dan postlingual deafness atau ketulian yang dialami setelah seseorang
menguasai bahasa. Secara umum, saat bayi berusia 5 bulan, mereka sudah mampu
untuk mendeteksi adanya stimulus suara. Hal itu dapat terlihat dengan
kemampuannya yang akan menggerakkan kepala ke arah sumber suara. Seiring dengan
berjalannya waktu, pada umumnya, saat menginjak usia 15 sampai 18 bulan,
seorang bayi normal juga telah belajar untuk menggunakan kata-kata pertama
mereka. Namun hal ini berbeda dengan anak yang mengalami tunarungu. Sebagian
besar dari mereka mengalami perkembangan bicara yang cenderung terlambat dari
anak-anak normal pada umumnya.
Secara
umum, ketulian dapat digolongkan menjadi 4 jenis berdasarkan letak kerusakan
organ. Diantaranya adalah conductive
deafness yaitu kerusakan yang terdapat pada saluran luar telinga. Jenis
ketulian ini masih dapat ditangani secara medis dengan menggunakan alat bantu
dengar. Sensorineural deafness yaitu
kerusakan pada saluran dalam telinga atau syaraf pendengaran. Jenis ketulian
ini tidak dapat ditangani secara medis. Mixed
hearing loss merupakan jenis ketulian yang terjadi pada saluran dalam dan
syaraf telinga serta telinga bagian luar. Dan yang terakhir merupakan central hearing loss yaitu ketulian yang
disebabkan karena adanya gangguan pada cerebral
cortex yang bersifat neurologis.
Anak
yang telah didiagnosis menderita tunarungu umumnya juga akan mengalami gangguan
dalam masa perkembangannya. Mereka akan dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka
memang berbeda secara fisik dan hal itu sedikit banyak juga akan membuat guncangan
secara emosional. Apalagi ketika mereka telah memasuki usia sekolah. Usia
sekolah merupakan masa dimana anak yang menderita tunarungu sangat rentan
mengalami gangguan secara psikis. Di usia sekolah, anak-anak umumnya sedang
aktif-aktifnya dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya (peer group) nya. Pada masa-masa ini bukan suatu hal yang tidak
mungkin bila anak-anak yang menderita tunarungu akan diejek, ditertawakan, atau
bahkan di bully karena kondisi fisik
mereka yang berbeda dari anak-anak normal lainnya. Apabila hal ini berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, lambat laun juga akan membuat mereka tertekan.
Keadaan tertekan inilah yang nantinya akan membuat mereka frustasi sehingga
mereka dapat menarik diri dari lingkungan.
Oleh
sebab itu, disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan dalam membantu
perkembangan mereka. Dalam hal ini, yang paling penting adalah orangtua harus
menerima sepenuhnya keadaan anak mereka dengan lapang dada dan memberikan pola
asuh yang sesuai dengan keadaan si anak. Bukan berarti orangtua harus
memanjakan mereka. Namun, tanamkanlah keyanikan pada diri anak agar mereka
tidak merasa minder dengan keadaan fisik mereka. Berikanlah mereka motivasi
bahwa mereka mampu melakukan berbagai hal, sama seperti anak-anak pada umumnya.
Dengan keyakinan dan motivasi yang diberikan oleh orangtua sejak dini, maka
setidaknya anak-anak telah mempunyai keyakinan dasar bahwa mereka dapat
diterima di lingkungan keluarga. Sehingga selanjutnya mereka juga mampu percaya
diri dan yakin bahwa mereka dapat diterima di lingkungan masyarakat.
Selain
itu, orangtua juga harus aktif dalam mengajarkan keterampilan komunikasi pada
anak. Anak yang menderita tunarungu tidaklah bodoh. Mereka juga tidak
terbelakang. Mereka hanya mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa. Oleh
sebab itu, orangtua juga diharapkan memiliki semangat dan daya juang yang
tinggi untuk mengajarkan berbagai macam hal pada anak. Terkadang, banyak
orangtua mengeluh dan putus asa karena mengalami hambatan komunikasi dengan
anak sehingga tidak sedikit orangtua yang lebih memilih diam atau hanya
melakukan komunikasi pasif menggunakan gerak tubuh sebagai isyarat. Namun,
sesungguhnya hal ini tidaklah bijak. Apabila anak tidak dilatih secara
maksimal, maka selamanya mereka juga tidak akan pernah mengerti. Oleh karena
itu, lakukankanlah latihan komunikasi secara aktif terutama selama anak berada
di rumah. Banyak hal dapat dilakukan untuk melatih komunikasi pada anak
tunarungu. Selain menggunakan alat bantu dengar, penggunaaan bahasa isyarat dan
membaca ujaran juga mampu melatih agar mereka lebih peka terhadap kata dan
bahasa.
Created by:
DEWA AYU INTEN PURNAMASARI
115120300111041