Jumat, 25 Oktober 2013

SISI PSIKOLOGIS ANAK YANG MENDERITA TUNA RUNGU
Setiap orangtua pasti mendambakan memiliki anak yang sehat, baik sehat secara fisik maupun mental. Setiap orangtua mengharapkan anak-anak mereka tumbuh dewasa tanpa menghadapi masalah berarti. Mereka berharap anak-anaknya tumbuh normal, dan kelak berhasil dalam pendidikan dan kehidupan, serta dapat menjadi kebanggaan keluarga (Hammer dan Turner, 1996). Namun kenyataannya beberapa orangtua justru diharuskan untuk menerima kehadiran anak yang berbeda atau “spesial”. Keadaan ini tentu saja menuntut sikap penerimaan diri mereka sebagai orangtua anak yang memiliki kebutuhan khusus. Namun, bagaimanapun keadaannya, seorang anak adalah karunia Tuhan. Dan oleh karena itu, setiap orangtua harus bersyukur akan anugerah yang telah diberikan Tuhan tersebut.
Anak Berkebutuhan Khusus atau yang biasa disingkat dengan ABK merupakan anak-anak yang keadaan atau kondisinya lebih “spesial” dari anak-anak pada umumnya. Anak yang digolongkan memiliki kebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kondisi fisik ataupun mental yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dalam artikel ini, akan dibahas secara lebih mendalam mengenai anak yang menderita tunarungu.
Anak yang menderita tunarungu umumnya sudah dapat diidentifikasi sejak usia dini. Tunarungu merupakan ketidakmampuan mendengar stimulus wicara atau bunyi-bunyian, baik dalam derajad intesitas maupun frekuensi. Tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu prelingual deafness, yakni ketulian yang diderita sejak lahir, dan postlingual deafness atau ketulian yang dialami setelah seseorang menguasai bahasa. Secara umum, saat bayi berusia 5 bulan, mereka sudah mampu untuk mendeteksi adanya stimulus suara. Hal itu dapat terlihat dengan kemampuannya yang akan menggerakkan kepala ke arah sumber suara. Seiring dengan berjalannya waktu, pada umumnya, saat menginjak usia 15 sampai 18 bulan, seorang bayi normal juga telah belajar untuk menggunakan kata-kata pertama mereka. Namun hal ini berbeda dengan anak yang mengalami tunarungu. Sebagian besar dari mereka mengalami perkembangan bicara yang cenderung terlambat dari anak-anak normal pada umumnya.
Secara umum, ketulian dapat digolongkan menjadi 4 jenis berdasarkan letak kerusakan organ. Diantaranya adalah conductive deafness yaitu kerusakan yang terdapat pada saluran luar telinga. Jenis ketulian ini masih dapat ditangani secara medis dengan menggunakan alat bantu dengar. Sensorineural deafness yaitu kerusakan pada saluran dalam telinga atau syaraf pendengaran. Jenis ketulian ini tidak dapat ditangani secara medis. Mixed hearing loss merupakan jenis ketulian yang terjadi pada saluran dalam dan syaraf telinga serta telinga bagian luar. Dan yang terakhir merupakan central hearing loss yaitu ketulian yang disebabkan karena adanya gangguan pada cerebral cortex yang bersifat neurologis.
Anak yang telah didiagnosis menderita tunarungu umumnya juga akan mengalami gangguan dalam masa perkembangannya. Mereka akan dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka memang berbeda secara fisik dan hal itu sedikit banyak juga akan membuat guncangan secara emosional. Apalagi ketika mereka telah memasuki usia sekolah. Usia sekolah merupakan masa dimana anak yang menderita tunarungu sangat rentan mengalami gangguan secara psikis. Di usia sekolah, anak-anak umumnya sedang aktif-aktifnya dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya (peer group) nya. Pada masa-masa ini bukan suatu hal yang tidak mungkin bila anak-anak yang menderita tunarungu akan diejek, ditertawakan, atau bahkan di bully karena kondisi fisik mereka yang berbeda dari anak-anak normal lainnya. Apabila hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, lambat laun juga akan membuat mereka tertekan. Keadaan tertekan inilah yang nantinya akan membuat mereka frustasi sehingga mereka dapat menarik diri dari lingkungan.
Oleh sebab itu, disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan dalam membantu perkembangan mereka. Dalam hal ini, yang paling penting adalah orangtua harus menerima sepenuhnya keadaan anak mereka dengan lapang dada dan memberikan pola asuh yang sesuai dengan keadaan si anak. Bukan berarti orangtua harus memanjakan mereka. Namun, tanamkanlah keyanikan pada diri anak agar mereka tidak merasa minder dengan keadaan fisik mereka. Berikanlah mereka motivasi bahwa mereka mampu melakukan berbagai hal, sama seperti anak-anak pada umumnya. Dengan keyakinan dan motivasi yang diberikan oleh orangtua sejak dini, maka setidaknya anak-anak telah mempunyai keyakinan dasar bahwa mereka dapat diterima di lingkungan keluarga. Sehingga selanjutnya mereka juga mampu percaya diri dan yakin bahwa mereka dapat diterima di lingkungan masyarakat.
Selain itu, orangtua juga harus aktif dalam mengajarkan keterampilan komunikasi pada anak. Anak yang menderita tunarungu tidaklah bodoh. Mereka juga tidak terbelakang. Mereka hanya mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa. Oleh sebab itu, orangtua juga diharapkan memiliki semangat dan daya juang yang tinggi untuk mengajarkan berbagai macam hal pada anak. Terkadang, banyak orangtua mengeluh dan putus asa karena mengalami hambatan komunikasi dengan anak sehingga tidak sedikit orangtua yang lebih memilih diam atau hanya melakukan komunikasi pasif menggunakan gerak tubuh sebagai isyarat. Namun, sesungguhnya hal ini tidaklah bijak. Apabila anak tidak dilatih secara maksimal, maka selamanya mereka juga tidak akan pernah mengerti. Oleh karena itu, lakukankanlah latihan komunikasi secara aktif terutama selama anak berada di rumah. Banyak hal dapat dilakukan untuk melatih komunikasi pada anak tunarungu. Selain menggunakan alat bantu dengar, penggunaaan bahasa isyarat dan membaca ujaran juga mampu melatih agar mereka lebih peka terhadap kata dan bahasa.


Created by:
DEWA AYU INTEN PURNAMASARI

115120300111041

Tidak ada komentar:

Posting Komentar